KPK akhirnya menaikkan kasus SKL BLBI ke tingkat penyidikan. Syafruddin Temenggung, eks kepala BPPN, jadi tersangka perdana kasus ini. Yang lain kapan? Sepertinya KPK akan memakai jurus menangkap terinya dulu, kakapnya belakangan.
Penetapan tersangka itu diumumkan Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan di gedung KPK, kemarin sore. Menurut Basaria, Syafruddin kongkalikong dengan Sjamsul Nursalim, pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), dalam penerbitan SKL (surat keterangan lunas) untuk bank itu pada tahun 2004.
Penerbitan SKL terkait dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia BLBI kepada BPPN. Diketahui, BDNI adalah salah satu dari 48 bank yang mendapatkan kucuran dana BLBI. BDNI menerima Rp 27,4 triliun.
"Kasus ini merupakan perkara besar yang diduga sangat merugikan keuangan negara. Atas penerbitan SKL tersebut diduga telah terjadi kerugian keuangan negara Rp3,7 triliun," ungkap Basaria yang didampingi Jubir KPK Febri Diansyah.
Basaria memaparkan, pada tahun 2002, Syafrudin selaku Kepala BPPN mengusulkan perubahan proses litigasi terhadap kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh obligor sebesar Rp 4,8 triliun kepada Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) untuk disetujui.
Namun, restrukturisasi aset Sjamsul Nursalim hanya sebesar Rp 1,1 triliun. Sedangkan sisanya, Rp 3,7 triliun tidak dibahas dalam proses restrukturisasi itu. Meski begitu, pada April 2004, Syafruddin mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban pemegang saham terhadap Sjamsul Nursalim atas kewajibannya kepada BPPN. Rp 3,7 triliun yang tak dibayar Sjamsul itulah yang menjadi kerugian negara.
Sebelumnya, sejak era kepemimpinan Antasari Azhar Cs, Syafruddin memang pernah diperiksa penyidik KPK. Tepatnya, sekitar bulan Mei 2008. Syafruddin sendiri telah menyandang status tersangka dalam kasus pembelian hak tagih (cessie) PT Victoria Sekuritas Internasional pada BPPN yang ditangani Kejagung. Korps adhyaksa telah menyelidiki kasus Victoria sejak pertengahan 2015. Sementara Syafruddin ditetapkan sebagai tersangka sekitar setahun kemudian, 21 September 2016.
Sebelumnya, pada 2006 Kejagung juga menetapkan Syafruddin dan Komisaris PT Rajawalli III, Nyono Soetjipto, sebagai tersangka dalam penjualan aset Pabrik Gula Rajawali III di Gorontalo.
Dia dijerat dalam kapasitasnya sebagai Kepala BPPN. Pabrik gula yang merupakan aset negara dan dikuasakan kepada BPPN, dijual dengan harga Rp 84 miliar. Padahal nilainya ditaksir ratusan miliar.
Namun kasus yang diusut Korps Adhyaksa itu dihentikan di tengah jalan karena penyidik menganggap tak cukup bukti. Pada 21 Juni 2007, penyidik menerbitkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) bernomor Print-01/O.1.14/Ft/06/2007.
Syafruddin yang juga pernah menduduki kursi Dewan Komisaris Pertamina, juga sempat terseret kasus penjualan dua kapal tanker raksasa (very large crude carrier--VLCC) yang melibatkan Laksamana Sukardi, eks Meneg BUMN era Mega. Pada kasus ini, Laksamana ditetapkan sebagai tersangka, selaku Komisaris PT Pertamina. Kejagung pernah memeriksa Syafruddin terkait persetujuan Dewan Komisaris soal penjualan kapal VLCC.
Namun, lagi-lagi Gedung Bundar menghentikan penyidik kasus itu. Alasannya karena Kejagung tak menemukan unsur kerugian negara setelah menggelar ekspos dengan BPK.
Kenapa KPK tak sekalian menetapkan Sjamsul Nursalim, yang terhitung sebagai kakap di kasus ini sebagai tersangka? Menurut KPK ini merupakan strategi pihaknya, menangkap teri duluan, kakapnya belakangan.
"Kenapa tidak satu paket? Sebenarnya kalau sudah pasal 55 itu sudah satu paket. Kapan harus ditentukan, sudah barang tentu sabar dulu itu. Kalau ada waktu yang tepat, ada langkah berikutnya. Yang pasti tidak hanya berhenti sampai di sini," tegas Basaria.
Basaria pun meminta Sjamsul, yang kini berada di Singapura, untuk pulang ke Tanah Air. "Mudah-mudahan beliau mendengar informasi ini, lalu datang ke kantor KPK, untuk memberi penjelasan dengan rinci," imbau Basaria.
Ditanya soal keterlibatan Megawati, Basaria tak mau menjawab lugas. Untuk diketahui, SKL terbit atas aturan Megawati yang dituangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemenang Saham.
Basaria hanya menjawab, penerbitan SKL kepada obligor BLBI itu memang kebijakan pemerintah saat itu. Menurutnya, tak semua kebijakan merupakan tindak pidana korupsi.
Namun, kata Basaria, kebijakan pemerintah bisa dikatakan terindikasi korupsi bila menguntungkan diri sendiri ataupun pihak-pihak lain. "Kebijakan itu menjadi tindak pidana korupsi apabila di dalam proses berjalannya kebijakan itu ada sesuatu manfaat, yang diperoleh untuk kepentingan diri sendiri atau orang lain," ujar Basaria.
Basaria menegaskan, kasus ini tak hanya berhenti di Syafruddin. Penyidik komisi antirasuah itu akan terus mengembangkan kasus ini. Namun saat ini, KPK akan fokus dulu terhadap Syafruddin. "Ini masih awal, penetapan tersangka tak hanya pada satu orang semata. Masih ada pengembangan," tegas Basaria.
Basaria menyebut, proses yang cukup panjang di tingkat penyelidikan diakibatkan banyaknya dokumen yang harus dianalisa. Kendala lain, peristiwanya terjadi sudah cukup lama. Hal ini membuat tim dari KPK perlu waktu untuk mempelajari dan menganalisisnya.
Untuk diketahui, KPK pada era pimpinan Abraham Samad Cs sudah meminta keterangan sejumlah pihak. Di antaranya, Menko Bidang Perekonomian era Presiden Abdurahman Wahid, Rizal Ramli, Menteri BUMN era Mega, Laksamana Sukardi, Menko Perekonomian era Mega, Dorodjatun Kuntjoro Jakti. Kemudian, Menteri Keuangan 1998-1999 Bambang Subiyanto, serta eks Menteri BUMN Rini M Soemarno, serta Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) I Putu Gede Ary Suta, dan Menko Perekonomian era Megawati, Kwik Kian Gie.
KPK menduga ada masalah dalam proses pemberian SKL kepada sejumlah obligor tersebut. SKL ini dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Instruksi Pres No 8 Tahun 2002. SKL itu berisi pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya.
Hal itu berdasarkan penyelesaian kewajiban pemegang saham, atau yang lebih dikenal dengan Inpres tentang release and discharge.
Penerima SKL BLBI beberapa di antaranya yakni, pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim, pengusaha The Nin King, pengusaha Bob Hasan, dan Salim Group.
Berdasarkan inpres tersebut, debitor BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang walaupun hanya 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN. Atas dasar bukti itu, mereka yang saat itu diperiksa dalam penyidikan Kejaksaan Agung mendapatkan surat perintah penghentian perkara (SP3).
BLBI merupakan skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat krisis moneter tahun 1998. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada bulan Desember 1998, BI menyalurkan BLBI sebesar Rp147,7 triliun kepada 48 bank.
Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan, dari dana BLBI itu, negara dirugikan sebesar Rp138,4 triliun atau 95, 878 persen. Sementara, audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan terdapat penyimpangan sebesar Rp 54,5 triliun dari 42 bank penerima BLBI. BPKP menyimpulkan, Rp 53,4 triliun dari penyimpangan itu terindikasi korupsi dan tindak pidana perbankan. [rmol]
Repost by : MuslimCyber.id
From Link : AutoPosting
Jangan Lupa klik LIKE dan BAGIKAN, semoga bermanfaat.
Silahkan berkomentar yang baik dan sopan.
0 komentar:
Posting Komentar